Mualim Sumping Goreskan Sejarah Malingping
Banten, Perssigap88.co.id - Malingping merupakan salah satu nama kecamatan di kabupaten Lebak, Banten, yang terdiri dari 14 desa dengan berbagai sumber alam yang dimilikinya, sehingga kian hari semakin berkembang.
Kecamatan Malingping di sebelah selatan yakni Desa Pagelaran dan Cilangkahan berhadapan langsung dengan dunia Internasional karena berbatasan dengan Samudera Hindia. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Banjarsari dan kecamatan Cijaku, sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Cihara, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Wanasalam.
Dirangkum dari beberapa sesepuh atau tokoh masyarakat di kecamatan Malingping, bahwa nama Malingping berasal dari kalimat bersejarah, yakni "Mualim Sumping" (Mualim: ulama/abuya/ajengan/kyai, ustad; Sumping: datang).
Dari penuturan sejarah, dikatakan pada zaman dahulu yang bernama Mbah Adipati Ukur Sumadikara Jayabaya anak dari Pangeran Geusan Ulun Panji Timbanagara dari Sumedang, ditugaskan oleh Waliyullah Syekh Syarif Hidayatullah dari Gunung Djati kerap dipanggil Sunan Gunung Jati, untuk memberantas ajaran Budha aliran Pucuk Umun di Banten Girang, tepatnya di Baduy.
Pada saat itu Raden Adipati Ukur mendampingi Sultan Hasanuddin Banten untuk memperluas ajaran Islam. Setelah Baduy menyadari kekalahannya, Baduy menyatakan menyerah dan tidak akan melawan. Mereka berjanji tidak akan mengganggu pasukan Mbah Adipati Ukur Sumadikara Jayabaya dan juga tidak ingin diganggunya.
Setelah itu, Banten terbagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Banten Wetan, Banten Lor, Banten Tengah dan Banten Kidul. Mbah Adipati Ukur memerintahkan anaknya yaitu Mbah Raden Mina untuk bertugas mengelola wilayah Banten Kidul tepatnya berada di Ibu Kota Tjilangkahan Distrik Madur.
Mulanya, kantor Ibu Kota Cilangkahan berada di daerah Pasir Geleng, Simpang. Namun, sekitar tahun 1883 terjadi bencana alam terbesar di dunia yaitu meletusnya Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda, hingga menyebabkan tenggelamnya kantor pusat Ibu Kota Cilangkahan tersebut.
Kemudian, kantor pusat Ibu Kota Cilangkahan dipindahkan ke tanah milik Mbah Raden Mina. Di tanah tersebut didirikan pendopo, alun-alun, masjid dan pasar, karena tujuan Mbah Raden Mina menghibahkan tanah tersebut untuk kepentingan masyarakat.
Dipertengahan masa kepemimpinannya, Mbah Raden Mina mengundang sepupunya yang soleh dan berilmu dari Sumedang, beliau (sepupu Mbah Raden Mina) dipanggil untuk membantu mengelola Ibu Kota Kewedanan Cilangkahan yang berada di Banten Kidul. Setelah itu dia (sepupu Mbah Raden Mina) tiba di Banten Kidul (Cilangkahan), dan pada saat itu orang yang soleh dan berilmu disebut oleh masyarakat adalah Mualim. Masyarakat Banten Kidul (Cilangkahan) dengan antusiasnya berteriak-teriak dengan kalimat "Mualim Sumping" yang artinya "orang soleh dan berilmu datang". Sedangkan kata Mualim sendiri sama artinya dengan sebutan terhadap seorang ulama, Abuya, kyai, maupun ustad, atau sejenisnya.
Beliau (sepupu Mbah Raden Mina) menjadi pusatnya ilmu bagi masyarakat sekitar, khususnya ajaran tentang agama Islam. Pada awalnya dia mendidik masyarakat mengenai ajaran Islam di kampung Kaum masuk wilayah Malingping Utara. Setelah itu pindah ke kampung Pedes, Cempakasari, kemudian masuk wilayah Malingping Selatan dan Sukaraja.
Hingga suatu hari, beliau (sepupu Mbah Raden Mina) wafat dan dimakamkan di Karamat (nama Tempat Pemakaman Umum yang terletak di Kampung Polotot, Desa Sukaraja, Kecamatan Malingping).
Sampai sekarang masyarakat sekitar mengkramatkan makam beliau dan biasa menyebutnya dengan "Kuburan Panjang".
Sedangkan kuburan Raden Mina sendiri berada di dekat pusat pemerintahan Cilangkahan kala itu, dikenal Kewedanan Cilangkahan atau Kantor Kecamatan Malingping saat ini, dan masih terawat karena sekarang berada dalam lingkungan rumah salah seorang turunan keluarganya.
Penyebutan nama Malingping ini terjadi karena adanya pergeseran dalam melafalkan sebutan panggilan pertama masyarakat Banten Kidul (Cilangkahan) terhadap beliau (sepupu Mbah Raden Mina) yaitu "Mualim Sumping"yang berubah menjadi Malingping.
Nama Malingping tersebut dipakai hingga sekarang dan menjadi nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Lebak, untuk menghormati beliau.
Sebagai salah satu bukti atas adanya "Mualim Sumping" serta siarnya itu, di wilayah Kabupaten Lebak bagian selatan khususnya di Kecamatan Malingping hampir seluruhnya menganut agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan para pemuka agama. Bahkan, hingga kini di setiap pelosok kampung selalu ditemukan kyai berikut pondok dan para santrinya yang sedang menimba ilmu agama. Tak jarang pula para kyai dan ulama dari berbagai daerah datang ke Malingping yang disambut hangat masyarakat bagaikan sejarah "Mualim Sumping"
Cerita yang menggoreskan sejarah asal mula sebuah nama daerah tersebut bukan satu-satunya, tentu masih ada versi lain yang didasarkan alur cerita, penelusuran dan fakta hasil kajian masing-masing yang didapat. Namun yang paling penting adalah sejarah tersebut sebagai salah satu warisan budaya yang melekat, turun temurun dari para leluhur kita terdahulu yang harus dijunjung tinggi dan akan abadi selama tidak ada yang merubahnya.
Penulis : Fatihan Nafs Alquds, Mahasiswa semester III Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Hukum dan Sosial,
UNMA
Whatsap Redaksi : 085231450077
Posting Komentar untuk "Mualim Sumping Goreskan Sejarah Malingping"