Puritanisme di HMI Ocit Abdurrosyid Siddiq
Banten, Perssigap88.co.id - Muktamar, Kongres, Muswil, Musda, Muscab, merupakan forum tertinggi organisasi sesuai dengan tingkatannya.
Di forum ini, peserta memiliki kesempatan untuk mengevaluasi program, menyampaikan pemandangan umum, menerima dan atau menolak laporan pertanggung-jawaban, merancang program, mengeluarkan rekomendasi, memilih pengurus baru, bahkan mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta bisa membubarkan organisasi.
Dari sekian banyak agenda, biasanya peserta pertemuan hanya fokus pada pemilihan calon ketua. Karena ini dianggap paling seksi dari seluruh rangkaian acara. Semua peserta sibuk dalam menggolkan kandidat yang diusung. Mereka lupa bahwa ruh organisasi ada dalam program kerja.
Itulah mengapa banyak organisasi yang sulit berkembang, apalagi maju. Banyak juga yang "hangat-hangat tahi ayam" atau "tukcing", dibentuk lalu cicing. Euphoria hanya saat pembentukan, lalu senyap setelahnya.
Forum itu, sejatinya bisa digunakan untuk mengevaluasi kinerja pengurus sebelumnya. Sebagai pembelajaran bagi pengurus yang akan datang. Laporan pertanggung-jawaban pengurus penting untuk dicermati. Apakah program yang dulu direncanakan dapat diimplementasikan dengan baik ataukah tidak.
Bila kinerja pengurus sebelumnya baik, indikatornya adalah program terlaksana sesuai rencana, maka dia dianggap berhasil. Bila laporan pertanggung-jawaban hanya seremoni dan normatif, maka peserta pertemuan bisa menolaknya. Sebuah laporan pertanggung-jawaban yang ditolak, menunjukkan bahwa kinerja pengurus gagal.
Sebagai contoh, dulu tahun 1999, Habibie gagal mencalonkan diri sebagai calon presiden Republik Indonesia. Kegagalan itu akibat dari laporan pertanggung-jawaban sebagai presiden pengganti Soeharto, ditolak oleh MPR dalam sidang istimewa. Karena ditolak maka dianggap gagal. Dan orang gagal tidak pantas untuk dipilih kembali.
Ruh organisasi adalah program kerja. Marwah organisasi adalah rekomendasi. Bila keduanya bisa dirumuskan dengan cerdas, ia akan menunjukkan kwalitas organisasi. Tapi perkara ini kerap luput dari perhatian peserta pertemuan. Karena itu tadi, mereka hanya fokus pada siapa calon ketua selanjutnya.
Semoga Kongres Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI XXI di Surabaya, menghasilkan program kerja yang bermanfaat bagi umat, dan rekomendasi yang selaras dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh rakyat. Semoga menjadi generasi pewaris organisatoris yang handal, dan pewaris ideologis yang inklusif.
Banyak kader HMI yang berhasil menjadi generasi pewaris organisatoris. Buktinya, banyak para alumni yang berkiprah dalam berbagai bidang. Bahkan dalam pidato pembukaan tadi pagi, Presiden Jokowi berseloroh, bahwa kader HMI di Kabinet Indonesia Maju, bukan banyak. Tapi terlalu banyak.
Sebaliknya, tak sedikit kader HMI yang gagal menjadi generasi pewaris ideologis. Ideologis ini berupa doktrin dan norma yang terkandung dalam Nilai Identitas Kader atau NIK, yang merupakan materi wajib bagi anggota HMI.
NIK yang dirumuskan Nurcholis Madjid atau Cak Nur, sarat dengan inklusifisme dalam bingkai kebangsaan dan keindonesiaan. Terbuka, toleran, menghargai perbedaan, dan berpikir kontekstual merupakan narasi inti dalam NIK.
Bukti bahwa banyak kader yang piawai sebagai pewaris organisatoris, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun pernah menyentil dengan guyonan khasnya. Katanya, "Bila HMI dalam mewujudkan keinginannya menghalalkan segala cara, sementara PMII caranya pun tidak tahu".
Sebaliknya, banyak kader yang gagal sebagai pewaris ideologis, bisa dilihat dari pergeseran trend; dulu yang liberal dan progressive itu anak-anak HMI. Kini, yang progressive dan dinamis dalam kajian pemikiran keislaman adalah anak-anak PMII. Sebaliknya, HMI kini malah jadi puritan!
Anda tidak sepakat? Bantah otokritik saya ini secara argumentatif! Selamat melaksanakan kongres. Yakin Usaha Sampai!
***
Penulis adalah "hanya" Alumni LK 1 HMI Komisariat IAIN SGD Bandung 1992.
(Fay)
Posting Komentar untuk "Puritanisme di HMI Ocit Abdurrosyid Siddiq"